Pengertian sistem politik
menurut David Easton masih memegang posisi kunci dalam studi politik
negara. Pengertian struktural fungsional dari Gabriel Almond mempertajam
konsep David Easton tersebut. Sistem adalah kesatuan seperangkat
struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai
tujuan tertentu. Sistem politik adalah kesatuan (kolektivitas)
seperangkat struktur politik yang memiliki fungsi masing-masing yang
bekerja untuk mencapai tujuan suatu negara. Pendekatan sistem politik
ditujukan untuk memberi penjelasan yang bersifat ilmiah terhadap
fenomena politik. Pendekatan sistem politik dimaksudkan juga untuk
menggantikan pendekatan klasik ilmu politik yang hanya mengandalkan
analisis pada negara dan kekuasaan. Pendekatan sistem politik
diinspirasikan oleh sistem yang berjalan pada makhluk hidup (dari
disiplin biologi).
Dalam pendekatan sistem
politik, masyarakat adalah konsep induk oleh sebab sistem politik hanya
merupakan salah satu dari struktur yang membangun masyarakat seperti
sistem ekonomi, sistem sosial dan budaya, sistem kepercayaan dan lain
sebagainya. Sistem politik sendiri merupakan abstraksi (realitas yang
diangkat ke alam konsep) seputar pendistribusian nilai di tengah
masyarakat.
Seperti telah dijelaskan,
masyarakat tidak hanya terdiri atas satu struktur (misalnya sistem
politik saja), melainkan terdiri atas multi struktur. Sistem yang
biasanya dipelajari kinerjanya adalah sistem politik, sistem ekonomi,
sistem agama, sistem sosial, atau sistem budaya-psikologi. Dari aneka
jenis sistem yang berbeda tersebut, ada persamaan maupun perbedaan.
Perbedaan berlingkup pada dimensi ontologis (hal yang dikaji) sementara
persamaan berlingkup pada variabel-variabel (konsep yang diukur) yang
biasanya sama antara satu sistem dengan lainnya.
Untuk memahami sistem politik
Indonesia, layaknya kita memahami sistem-sistem lain, maka harus kita
ketahui beberapa variabel kunci. Variabel-variabel
kunci dalam memahami sebuah sistem adalah adalah struktur, fungsi,
aktor, nilai, norma, tujuan, input, output,
respon, dan umpan balik.
Struktur adalah lembaga politik yang memiliki
keabsahan dalam menjalankan suatu fungsi sistem politik. Dalam konteks
negara (sistem politik) misal dari struktur ini struktur input, proses,
dan output. Struktur input bertindak selaku pemasok komoditas ke
dalam sistem politik, struktur proses bertugas mengolah masukan dari
struktur input, sementara struktur output bertindak selaku mekanisme
pengeluarannya. Hal ini mirip dengan organisme yang membutuhkan makanan,
pencernaan, dan metabolisme untuk tetap bertahan hidup.
Struktur input, proses dan output
umumnya dijalankan oleh aktor-aktor yang dapat dikategorikan
menjadi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga aktor ini
menjalankan tugas kolektif yang disebut sebagai pemerintah (government).
Namun, setiap aktor yang mewakili struktur harus memiliki fungsi yang
berbeda-beda: Tidak boleh suatu fungsi dijalankan oleh struktur yang
berbeda karena akan menimbulkan konflik kepentingan. Ini pun
merupakan dasar dari disusunnya konsep Trias Politika (pemisahan
kekuasaan) seperti digagas para pionirnya di masalah abad pencerahan seperti
John Locke dan Montesquieu.
Nilai adalah komoditas utama yang
berusaha didistribusikan oleh struktur-struktur di setiap sistem politik
yang wujudnya adalah: (1) kekuasaan, (2) pendidikan atau penerangan;
(3) kekayaan; (4) kesehatan; (4) keterampilan; (5) kasih sayang; (6)
kejujuran dan keadilan; (7) keseganan, respek.[1] Nilai-nilai tersebut diasumsikan
dalam kondisi yang tidak merata persebarannya di masyarakat sehingga
perlu campur tangan struktur-struktur yang punya kewenangan (otoritas)
untuk mendistribusikannya pada elemen-elemen masyarakat yang seharusnya
menikmati. Struktur yang menyelenggarakan pengalokasian nilai ini, bagi
Easton, tidak dapat diserahkan kepada lembaga yang tidak memiliki
otoritas: Haruslah negara dan pemerintah sebagai aktornya.
Norma adalah peraturan, tertulis maupun tidak, yang
mengatur tata hubungan antar aktor di dalam sistem politik.
Norma ini terutama dikodifikasi di dalam konstitusi (undang-undang
dasar) suatu negara. Setiap konstitusi memiliki rincian kekuasaan yang
dimiliki struktur input, proses, dan output. Konstitusi juga memuat
mekanisme pengelolaan konflik antar aktor-aktor politik di saat
menjalankan fungsinya, dan menunjuk aktor (sekaligus) lembaga yang
memiliki otoritas dalan penyelesaikan konflik. Setiap negara memiliki
norma yang berlainan sehingga konsep norma ini dapat pula digunakan
sebagai parameter dalam melakukan perbandingan kerja sistem politik
suatu negara dengan negara lain.
Tujuan sistem politik, seperti halnya norma, juga terdapat di
dalam konstitusi. Umumnya, tujuan suatu sistem politik terdapat di dalam
mukadimah atau pembukaan konstitusi suatu negara. Tujuan sistem
politik Indonesia termaktub di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, sementara tujuan sistem politik
Amerika Serikat termaktub di dalam Declaration of Independence.
Input dan output adalah dua fungsi dalam sistem politik yang
berhubungan erat. Apapun output suatu sistem politik, akan dikembalikan
kepada struktur input. Struktur input akan bereaksi terhadap apapun
output yang dikeluarkan, yang jika positif akan memunculkan dukungan
atas sistem, sementara jika negatif akan mendampak muncul tuntutan
atas sistem. Umpan balik (feedback) adalah situasi di mana
sistem politik berhasil memproduksi suatu keputusan ataupun tindakan
yang direspon oleh struktur output.
Analisis mengenai kinerja sistem politik
sering merujuk pada teorisasi yang disusun oleh David Easton. Uraian
Easton mengenai sistem politik kendati abstrak dan luas tetapi
unggul dalam pencakupannya. Artinya, teori Easton ini mampu
menggambarkan kinerja sistem politik hampir secara holistik dan
sebab itu sering disebut sebagai grand theory. Uraian Easton juga
bersifat siklis, dalam arti sebagai sebuah sistem, sistem politik
dipandang sebagai sebuah organisme hidup yang mencukupi
kebutuhan-kebutuhan hidupnya sendiri, mengalami input, proses, output,
dan dikembalikan sebagai feedback kepada struktur input. Struktur
input kemudian merespon dan kembali menjadi input ke dalam sistem
politik. Demikian proses tersebut berjalan berputar selama sistem
politik masih eksis.
Pemikiran sistem politik Easton juga
tidak terlepas dari pandangan umum ilmu sosial yang berkembang saat ia
menyusun teorinya pada kurun 1953 hingga 1965. Era tersebut diwarnai
paradigma ilmu sosial mainstream yang bercorak fungsionalisme.
Dalam fungsionalisme suatu sistem dianggap memiliki kecenderungan
menciptakan ekuilibrium, adaptasi, dan integrasi dalam kerja
struktur-strukturnya. Layaknya tubuh manusia – di mana organ tangan,
kaki, kepala, perut, dan lainnya – sistem politik pun memiliki aneka
struktur yang fungsi-fungsinya satu sama lain berbeda, saling
bergantung, dan bekerja secara harmonis dalam mencapai tujuan dari
sistem tersebut.
Namun, pendekatan Easton ini kurang
sempurna untuk diaplikasikan sebagai alat analisis sistem politik di
dalam skala mikro, yang meliputi perilaku politik individu dan
lembaga-lembaga yang tidak secara formal merepresentasikan suatu fungsi
di dalam sistem politik. Kekurangan ini lalu dimodifikasi oleh
koleganya, Gabriel Abraham Almond. Almond (bersama James Coleman) ini
terutama mengisi abstraknya penjelasan Easton mengenai struktur, fungsi,
kapabilitas pemerintah, fungsi pemeliharaan dan adaptasi, serta dimensi
perilaku warganegara dalam kehidupan mikro politik sehari-hari
sistem politik. Almond tetap bekerja menggunakan skema besar sistem
politik Easton, tetapi melakukan pendalaman analisis atas level
individual di dalam negara.
Analisis sistem politik Indonesia di
dalam buku ini menggunakan bangunan teori Easton sebagai kerangka makro
dan Almond sebagai kerangka mikro. Keduanya akan digunakan secara
komplementatif. Komplementasi konsep Easton oleh Almond ini diantaranya
telah ditulis secara baik dan sistematis oleh Ronald H. Chilcote.[2]
Pendekatan
Sistem Politik Easton
Ronald H. Chilcote menyatakan bahwa
pemikiran Easton dapat di rujuk pada tiga tulisannya yaitu The
Political System, A Framework for Political Analysis, dan A
System Analysis of Political Life.[3] Di dalam buku
pertama yang terbit tahun 1953 (The Political System) Easton
mengajukan argumentasi seputar perlunya membangun satu teori umum yang
mampu menjelaskan sistem politik secara lengkap. Teori tersebut harus
mampu mensistematisasikan fakta-fakta kegiatan politik yang tercerai-berai
ke dalam suatu penjelasan yang runtut dan tertata rapi.
Easton
mendefinisikan politik sebagai proses alokasi nilai dalam masyarakat
secara otoritatif. Kata secara otoritatif membuat konsep
sistem politik Easton
langsung terhubungan dengan negara.[4]
Atas definisi Easton ini Michael Saward menyatakan adanya
konsekuensi-konsekuensi logis berikut:[5]
- Bagi Easton hanya ada satu otoritas yaitu otoritas negara;
- Peran dalam mekanisme output (keputusan dan tindakan) bersifat eksklusif yaitu hanya di tangan lembaga yang memiliki otoritas;
- Easton menekankan pada keputusan yang mengikat dari pemerintah, dan sebab itu: (a) keputusan selalu dibuat oleh pemerintah yang legitimasinya bersumber dari konstitusi dan (b) Legitimasi keputusan oleh konstitusi dimaksudkan untuk menghindari chaos politik; dan
- Bagi Easton sangat penting bagi negara untuk selalu beroperasi secara legitimate.
Menurut Chilcote, dalam
tulisannya di The Political System, Easton mengembangkan empat
asumsi (anggapan dasar) mengenai perlunya suatu teori umum (grand
theory) sebagai cara menjelaskan kinerja sistem politik, dan
Chilcote menyebutkan terdiri atas:[6]
- Ilmu pengetahuan memerlukan suatu konstruksi untuk mensistematisasikan fakta-fakta yang ditemukan.
- Para pengkaji kehidupan politik harus memandang sistem politik sebagai keseluruhan, bukan parsial.
- Riset sistem politik terdiri atas dua jenis data: data psikologis dan data situasional. Data psikologis terdiri atas karakteristik personal serta motivasi para partisipan politik. Data situasional terdiri atas semua aktivitas yang muncul akibat pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan ini muncul dari lingkungan fisik (topografi, geografis), lingkungan organis nonmanusia (flora, fauna), dan lingkungan sosial (rakyat, aksi dan reaksinya).
- Sistem politik harus dianggap berada dalam suatu disequilibrium (ketidakseimbangan).
Fakta cenderung tumpang-tindih dan semrawut
tanpa adanya identifikasi. Dari kondisi chaos ini, ilmu
pengetahuan muncul sebagai obor yang menerangi kegelapan lalu
peneliti dapat melakukan klasifikasi secara lebih jelas. Ilmu
pengetahuan melakukan pemetaan dengan cara menjelaskan hubungan antar
fakta secara sistematis. Politik adalah suatu ilmu pengetahuan dan
sebagai ilmu pengetahuan politik memiliki dimensi ontologis,
epistemologis, dan aksiologis. Easton memaksudkan teori yang dibangunnya
mampu mewakili ketiga unsur ilmiah tersebut.
Dalam konteks bangunan keilmuan, Easton
menghendaki adanya suatu teori umum yang mampu mengakomodasi
bervariasinya lembaga, fungsi, dan karakteristik sistem politik untuk
kemudian merangkum keseluruhannya dalam satu penjelasan umum. Proses
kerja sistem politik dari awal, proses, akhir, dan kembali lagi
ke awal harus mampu dijelaskan oleh satu kamera yang mampu
merekam seluruh proses tersebut. Layaknya pandangan fungsionalis atas
sistem, Easton menghendaki analisis yang dilakukan atas suatu struktur
tidak dilepaskan dari fungsi yang dijalankan struktur lain. Easton
menghendaki kajian sistem politik bersifat menyeluruh, bukan parsial.
Misalnya, pengamatan atas meningkatnya tuntutan di struktur input
tidak dilakukan secara per se melainkan harus pula melihat keputusan
dan tindakan yang dilakukan dalam struktur output.
Easton juga memandang sistem politik
tidak dapat lepas dari konteksnya. Sebab itu pengamatan atas suatu
sistem politik harus mempertimbangkan pengaruh lingkungan. Pengaruh
lingkungan ini disistematisasi ke dalam dua jenis data, psikologis dan
situasional. Kendati masih abstrak, Easton sudah mengantisipasi
pentingnya data di level individu. Namun, level ini lebih dimaksudkan
pada tingkatan unit-unit sosial dalam masyarakat ketimbang perilaku
warganegara (seperti umum dalam pendekatan behavioralisme). Easton
menekankan pada motif politik saat suatu entitas masyarakat melakukan
kegiatan di dalam sistem politik. Menarik pula dari Easton ini yaitu
antisipasinya atas pengaruh lingkungan anorganik seperti lokasi
geografis ataupun topografi wilayah yang ia anggap punya pengaruh
tersendiri atas sistem politik, selain tentunya lingkungan sistem sosial
(masyarakat) yang terdapat di dalam ataupun di luar sistem politik.
Easton juga menghendaki dilihatnya penempatan nilai dalam kondisi disequilibriun
(tidak seimbang). Ketidakseimbangan inilah yang merupakan bahan
bakar sehingga sistem politik dapat selalu bekerja.
Dengan keempat asumsi di atas, Easton
paling tidak ingin membangun suatu penjelasan atas sistem politik yang
jelas tahapan-tahapannya. Konsep-konsep apa saja yang harus dikaji dalam
upaya menjelaskan fenomena sistem politik, lembaga-lembaga apa saja
yang memang memiliki kewenangan untuk pengalokasian nilai di tengah
masyarakat, merupakan pertanyaan-pertanyaan dasar dari kerangka pikir
ini.
Lebih lanjut, Chilcote menjelaskan bahwa
setelah mengajukan empat asumsi seputar perlunya membangun suatu teori
politik yang menyeluruh (dalam hal ini teori sistem politik), Easton
mengidentifikasi empat atribut yang perlu diperhatikan dalam setiap kajian sistem politik, yang terdiri atas:[7]
1. Unit-unit
dan batasan-batasan suatu sistem politik
Serupa dengan paradigma
fungsionalisme, dalam kerangka kerja sistem politik pun terdapat
unit-unit yang satu sama lain saling berkaitan dan saling bekerja sama
untuk mengerakkan roda kerja sistem politik. Unit-unit ini adalah
lembaga-lembaga yang sifatnya otoritatif untuk menjalankan sistem
politik seperti legislatif, eksekutif, yudikatif, partai politik,
lembaga masyarakat sipil, dan sejenisnya. Unit-unit ini bekerja di dalam
batasan sistem politik, misalnya dalam cakupan wilayah negara atau
hukum, wilayah tugas, dan sejenisnya.
2. Input-output
Input merupakan masukan dari masyarakat ke dalam
sistem politik. Input yang masuk dari masyarakat ke dalam sistem politik
dapat berupa tuntutan dan dukungan. Tuntutan
secara sederhana dapat disebut seperangkat kepentingan yang alokasinya
belum merata atas ejumlah unit masyarakat dalam sistem politik. Dukungan
secara sederhana adalah upaya masyarakat untuk mendukung keberadaan
sistem politik agar terus berjalan. Output adalah hasil kerja
sistem politik yang berasal baik dari tuntutan maupun dukungan
masyarakat. Output terbagi dua yaitu keputusan dan tindakan
yang biasanya dilakukan oleh pemerintah. Keputusan adalah
pemilihan satu atau beberapa pilihan tindakan sesuai tuntutan atau
dukungan yang masuk. Sementara itu, tindakan adalah implementasi
konkrit pemerintah atas keputusan yang dibuat.
3. Diferensiasi
dalam sistem
Sistem yang baik harus memiliki
diferensiasi (pembedaan dan pemisahan) kerja. Di masyarakat modern yang
rumit tidak mungkin satu lembaga dapat menyelesaikan seluruh masalah.
Misalkan saja dalam proses penyusunan Undang-undang Pemilu, tidak bisa
hanya mengandalkan DPR sebagai penyusun utama, melainkan pula harus
melibatkan Komisi Pemilihan Umum, lembaga-lembaga pemantau kegiatan
pemilu, kepresidenan, ataupun kepentingan-kepentingan partai politik,
serta lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Sehingga dalam konteks
undang-undang pemilu ini, terdapat sejumlah struktur (aktor) yang
masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.
4. Integrasi
dalam sistem
Integrasi adalah keterpaduan kerja antar
unit yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Undang-undang
Pemilihan Umum tidak akan diputuskan serta ditindaklanjuti jika tidak
ada kerja yang terintegrasi antara DPR, Kepresidenan, KPU, Bawaslu,
Partai Politik, dan media massa.
Hasil pemikiran tahap pertama Easton
adalah sebagai berikut:[8]
Skema Kerja Sistem Politik Easton
Dalam gambar diatas, Easton
memisahkan sistem politik dengan masyarakat secara keseluruhan oleh
sebab bagi Easton sistem politik adalah suatu sistem yang berupaya
mengalokasikan nilai-nilai di tengah masyarakat secara otoritatifAlokasi
nilai hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan
yang legitimate (otoritatif) di mata warganegara dan konstitusi.
Suatu sistem politik bekerja untuk menghasilkan suatu keputusan (decision)
dan tindakan (action) yang disebut kebijakan (policy)
guna mengalokasikan nilai.
Unit-unit dalam sistem politik
menurut Easton adalah tindakan politik (political actions) yaitu
kondisi seperti pembuatan UU, pengawasan DPR terhadap Presiden,
tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal
kerjanya, sistem politik memperoleh masukan dari unit input.
Input adalah pemberi makan
sistem politik. Input terdiri
atas dua jenis: tuntutan dan dukungan. Tuntutan dapat
muncul baik dalam sistem politik maupun dari lingkungan intrasocietal
maupun extrasocietal. Tuntutan ini dapat berkenaan dengan barang
dan pelayanan (misalnya upah, hukum ketenagakerjaan, jalan, sembako),
berkenaan dengan regulasi (misalnya keamanan umum, hubungan industrial),
ataupun berkenaan dengan partisipasi dalam sistem politik (misalnya
mendirikan partai politik, kebebasan berorganisasi).
Tuntutan yang sudah terstimulasi
kemudian menjadi garapan aktor-aktor di dalam sistem politik yang
bersiap untuk menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan
melalui saluran-saluran yang ada di dalam sistem politik. Di sisi lain,
dukungan (support) merupakan tindakan atau orientasi untuk
melestarikan ataupun menolak sistem politik. Jadi, secara sederhana
dapat disebutkan bahwa dukungan memiliki dua corak yaitu positif (forwarding)
dan negatif (rejecting) kinerja sebuah sistem politik.
Setelah tuntutan dan dukungan diproses
di dalam sistem politik, keluarannya disebut sebagai output, yang
menurut Easton berkisar pada dua entitas yaitu keputusan (decision)
dan tindakan (action). Output ini pada kondisi lebih lanjut akan
memunculkan feedback (umpan balik) baik dari kalangan dalam
sistem politik maupun lingkungan. Reaksi ini akan diterjemahkan kembali
ke dalam format tuntutan dan dukungan, dan secara lebih lanjut
meneruskan kinerja sistem politik. Demikian proses kerja ini berlangsung
dalam pola siklis.
Di dalam karyanya yang lain - A Framework for
Political Analysis (1965) dan A System Analysis of Political Life
(1965) Chilcote menyebutkan bahwa Easton mulai mengembangkan serta
merinci konsep-konsep yang mendukung karya sebelumnya –
penjelasan-penjelasannya yang abstrak – dengan coba mengaplikasikannya
pada kegiatan politik konkrit dengan menegaskan hal-hal sebagai berikut:[9]
- Masyarakat terdiri atas seluruh sistem yang terdapat di dalamnya serta bersifat terbuka;
- Sistem politik adalah seperangkat interaksi yang diabstraksikan dari totalitas perilaku sosial, dengan mana nilai-nilai dialokasikan ke dalam masyarakat secara otoritatif. Kalimat ini sekaligus merupakan definisi politik dari Easton; dan
- Lingkungan terdiri atas intrasocietal dan extrasocietal.
Lingkungan intrasocietal terdiri
atas lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar batasan
sistem politik tetapi masih di dalam masyarakat yang sama. Lingkungan intrasocietal
terdiri atas:[10]
- Lingkungan ekologis (fisik, nonmanusia). Misal dari lingkungan ini adalah kondisi geografis wilayah yagng didominasi misalnya oleh pegunungan, maritim, padang pasir, iklim tropis ataupun dingin;
- Lingkungan biologis (berhubungan dengan keturunan ras). Misal dari lingkungan ini adalah semitic, teutonic, arianic, mongoloid, skandinavia, anglo-saxon, melayu, austronesia, caucassoid dan sejenisnya;
- Lingkungan psikologis. Misal dari lingkungan ini adalah postcolonial, bekas penjajah, maju, berkembang, terbelakang, ataupun superpower; dan
- Lingkungan sosial. Misal dari lingkungan ini adalah budaya, struktur sosial, kondisi ekonomi, dan demografis.
Lingkungan extrasocietal adalah
bagian dari lingkungan fisik serta sosial yang terletak di luar
batasan sistem politik dan masyarakat tempat sistem politik berada.
Lingkungan extrasocietal terdiri atas:
- Sistem Sosial Internasional. Misal dari sistem sosial internasional adalah kondisi pergaulan masyarakat dunia, sistem ekonomi dunia, gerakan feminisme, gerakan revivalisme Islam, dan sejenisnya, atau mudahnya apa yang kini dikenal dalam terminologi International Regime (rezim internasional) yang sangat banyak variannya.
- Sistem ekologi internasional. Misal dari sistem ekologi internasional adalah keterpisahan negara berdasar benua (amerika, eropa, asia, australia, afrika), kelangkaan sumber daya alam, geografi wilayah berdasar lautan (asia pasifik, atlantik), isu lingkungan seperti global warming atau berkurangnya hutan atau paru-paru dunia.
- Sistem politik internasional. Misal dari sistem politik internasional adalah PBB, NATO, ASEAN, ANZUS, Europa Union, kelompok negara-negara Asia Afrika, blok-blok perdaganan dan poros-poros politik khas dan menjadi fenomena di aneka belahan dunia. Termasuk ke dalam sistem politik internasional adalah pola-pola hubungan politik antar negara seperti hegemoni, polarisasi kekuatan, dan tata hubungan dalam lembaga-lembaga internasional.
Seluruh pikiran Easton
mengenai pengaruh lingkungan ini dapat dilihat di dalam bagan model arus
sistem politik berikut:
Model arus sistem politik di
atas hendak menunjukkan bagaimana lingkungan, baik intrasocietal
maupun extrasocietal, mampu mempengaruhi tuntutan dan dukungan
yang masuk ke dalam sistem politik. Terlihat dengan jelas bahwa skema
ini merupakan kembangan lebih rumit dan rinci dari skema yang dibuat
Easton dalam karyanya tahun 1953. Keunggulan dari model arus sistem
politik ini adalah Easton lebih merinci pada sistem politik pada
hakikatnya bersifat terbutka. Dua jenis lingkungan, intrasocietal dan
extrasocietal mampu mempengaruhi mekanisme input
(tuntutan dan dukungan) sehingga struktur proses dan output harus lincah
dalam mengadaptasinya.
Tuntutan dan dukungan dikonversi di
dalam sistem politik yang bermuara pada output yang dikeluarkan oleh Otoritas.
Otoritas di sini berarti lembaga yang memiliki kewenangan untuk
mengeluarkan keputusan maupun tindakan dalam bentuk policy
(kebijakan), bukan sembarang lembaga, melainkan menurut Easton
diposisikan oleh negara (state). Output ini kemudian kembali
dipersepsi oleh lingkungan dan proses siklis kembali berlangsung.
Gabriel Abraham Almond dan Struktural Fungsional
Gabriel Abraham Almond adalah
salah satu pengguna teori sistem politik Easton. Namun, Almond kurang sreg
dengan pendekatan Easton yang terlampau abstrak. Almond juga
menyayangkan kurangnya perhatian Easton pada kajian-kajian politik dalam
skala mikro.
Menurut Chilcote, pada tahun
1956 – jadi sekitar tiga tahun setelah David Easton meluncurkan karyanya
The Political System tahun 1953 - Gabriel Abraham Almond
menerapkan teori sistem tersebut atas sistem politik suatu bangsa
sebagai bentuk metode trial and error layaknya sebuah teori. Namun, Almond melakukan sejumlah modifikasi
atas teori Easton. Jika Easton membangun suatu grand theory, maka
Almond membangun suatu middle-range theory. Secara umum, teori
sistem yang dibangun Almond terdiri atas tiga tahap. Pentahapan pemikiran Easton ini mengikuti pendapat Ronald H.
Chilcote yang mengacu pada karya-karya penelitian Almond.[11]
Di dalam tulisannya Comparative
Polititical System tahun 1956 Almond mengajukan tiga asumsi yang
harus dipertimbangkan dalam kajian sistem politik yang terdiri atas:
- Sistem menandai totalitas interaksi di antara unit-unitnya dan keseimbangan di dalam sistem selalu berubah;
- Hal penting dalam sistem politik bukan semata-mata lembaga formal, melainkan juga struktur informal serta peran yang dijalankannya; dan
- Budaya politik adalah kecenderungan utama dalam sistem politik, di mana budaya inilah yang membedakan satu sistem politik dengan sistem politik lain.
Bagi Almond, sistem politik adalah
totalitas interaksi antar unit-unit yang ada di dalamnya. Interaksi
tersebut tidak hanya sebatas pada lembaga-lembaga (aktor-aktor) politik
formal melainkan pula informal. Dapat dibayangkan pengaruh politik
struktur-struktur non formal yang dipimpin oleh Kardinal Sin sewaktu
perubahan politik Filipina, Uskup Bello saat Timor Timur masih berada di
wilayah Indonesia, M. Amien Rais dan K. H. Abdurrachman Wahid yang
mewakili Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dalam pentas
politik Indonesia, ataupun pengaruh Pakubuwana secara spiritual bagi
politik di tanah Jawa. Easton menghindari kajian atas struktur-struktur
seperti ini sementara Almond justru mengapresiasi signifikansinya.
Keseimbangan di dalam sistem politik
menurut Almond selalu berubah sehingga sistem politik lebih bersifat
dinamis ketimbang statis. Perubahan keseimbangan ini tentu saja tidak
lepas dari pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal.
Pengaruh tersebut membuat perimbangan kekuatan antar struktur
formal berubah dan contoh paling mudah adalah dominannya kekuatan
lembaga kepresidenan atas legislatif dan yudikatif di masa pra transisi
politik 1998 berganti dengan persamaan dan penyetaraan kekuatan di
antara ketiga lembaga tersebut pasca transisi.
Kecenderungan orientasi politik individu
atas sistem politik – atau biasa disebut budaya politik – juga berbeda
baik antar negara atau bahkan di dalam negara itu sendiri. Almond
bersama Sidney Verba secara khusus menyelidiki budaya politik ini
yang tersusun di dalam buku The Civic Culture: Political Attitudes
and Democracy in Five Nations yang terbit tahun 1963. Pada
perkembangannya, konsep budaya politik ini semakin populer dan
luas digunakan para peneliti di dunia termasuk Indonesia. Khusus
mengenai budaya politik, Almond menyatakan bahwa yang ia maksud
dengannya adalah:[12]
- Seperangkat orientasi politik yang bersifat subyektif dan berlaku di suatu bangsa, atau sub-sub masyarakat yang ada di dalam bangsa tersebut;
- Budaya politik terdiri atas komponen-komponen kognitif (pengetahuan dan kepercayaan tentang realitas politik), afektif (rasa penghargaan atas politik), dan evaluatif (komitmen atas nilai-nilai politik);
- Budaya politik adalah hasil sosialisasi politik di masa kanak-kanak, pendidikan, terpaan media, dan akibat sentuhan pengalaman di masa dewasa sehubungan kinerja sosial dan ekonomi yang ditunjukkan pemerintah; dan
- Budaya politik berdampak atas struktur dan kinerja pemerintah, di mana dampak ini sifatnya lebih cenderung memaksa ketimbang otomatis menentukan struktur dan kinerja pemerintah.
Budaya politik di masing-masing individu
sifatnya subyektif. Subyektivitas ini mendorong terdapatnya lebih dari
satu macam budaya politik di dalam masyarakat suatu bangsa. Layaknya
budaya yang bersifat sosial (budaya daerah atau lokal), budaya politik
masyarakat dalam satu negara sangat mungkin berbeda. Sebagian
warganegara Indonesia di propinsi Papua tidak seluruhnya memiliki afeksi
atas Negara Kesatuan Republik Indonesia, melainkan hanya pada sistem
politik lokal yaitu suku-suku atau klan di mana mereka menjadi
anggota (komunitas politik lokal), pendukung Organisasi Papua
Merdeka ataupun pro-integrasi.
Kembali pada masalah perkembangan
pemikiran Gabriel Abraham Almond, bahwa dalam tahap selanjutnya, Almond –
kini bersama James Coleman di dalam bukunya The Political of the
Developing Areas yang terbit tahun 1963 – berusaha menghindari
terjebaknya analisa sistem politik hanya pada kajian kontitusi ataupun
lembaga politik formal. Almond (dan Coleman) kemudian mengarahkannya
pada struktur serta fungsi yang dijalankan masing-masing unit politik
dalam sistem politik. Dengan demikian, Almond memperkenalkan konsep fungsi guna menggantikan konsep power, sementara konsep struktur
digunakannya untuk mengganti konsep lembaga politik formal.
Almond menegaskan bahwa sistem
politik memiliki empat karakteristik yang
bersifat universal. Keempat karakteristik ini berlaku di negara manapun dan
terdiri atas premis-premis:[13]
- Setiap sistem politik memiliki struktur-struktur politik;
- Fungsi-fungsi (dari setiap struktur) yang sama dapat ditemui di setiap sistem politik;
- Setiap struktur politik … bersifat multifungsi; dan
- Setiap sistem politik telah bercampur dengan budaya politik (yang dianut warganegara masing-masing).
Setelah mengajukan keempat premis
tersebut, Almond memodifikasi struktur input serta output
David Easton dan hasilnya adalah Almond berhasil memperjelas abstraknya
Easton dalam menjelaskan masalah fungsi input
dan output sistem politik sebagai berikut:[14]
Fungsi Input terdiri atas:
- Sosialisasi dan rekrutmen politik. Fungsi sosialisasi dan rekrutmen politik selanjutnya ditempatkan Almond sebagai fungsi pemeliharaan sistem politik.
- Artikulasi kepentingan. Struktur yang menjalankan fungsi artikulasi kepentingan adalah kelompok-kelompok kepentingan yang terorganisir yang meliputi tipe: (a) Institutional; (b) Non-Associational; (c) Anomic; dan (d) Associational.
- Agregasi (pengelompokan) kepentingan. Jalannya fungsi ini dipengaruhi oleh dua hal yaitu sistem kepartaian yang berlaku di suatu negara dan penampilan fungsi-fungsi agregatif. Sistem kepartaian (menurut Almond) misalnya Authoritarian, Dominant-Authoritarian, Competitif, dan Competitive Multi-party. Penampilan fungsi-fungsi agregatif misalnya tawar-menawar yang sifatnya pragmatis atau sekular, cenderung berorientasi nilai absolut, dan bersifat tradisi ataupun partikularistik.
- Komunikasi politik. Guna membanding pola komunitasi politik antar sistem politik, Almond mengajukan empat parameter yaitu: (1) Homogenitas informasi politik yang tersedia; (2) Mobilitas informasi (vertikal atau horisontal; (3) Nilai informasi; dan (4) Arah dari arus informasi yang berkembang (komunikator atau komunikan).
Fungsi output terdiri atas :
- Pembuatan peraturan. Berdasarkan tuntutan dan dukungan serta aneka pengaruh lingkungan intrasocietal dan extrasocietal, input berusaha diterjemahkan menjadi kebijaksanaan umum (policy).
- Penerapan peraturan. Ketika policy sudah terbentuk, hal yang harus dilakukan adalah melakukan tindak administrasi guna mengimplementasikannya pada ranah publik.
- Pengawasan peraturan. Ada lembaga khusus yang melakukan pengawasan dan menyelesaikan persengketaan dalam hal pembuatan dan pelaksanaan peraturan.
Menurut Chilcote, setelah merevisi teori
sistem politik dari David Easton, Almond meringkas pola pikir sistem
politiknya ke dalam skema berikut: [15]
Gambar 3 Diagram Sistem
Politik Almond dan Level-level Fungsi
Di level fungsi input,
sosialisasi dan rekrutmen politik meliputi rekrutmen individu dari
aneka kelas masyarakat, etnik, kelompok, dan sejenisnya untuk masuk ke
dalam partai politik, birokrasi, lembaga yudisial, dan sebagainya. Dalam
perkembangan pemikirannya kemudian, Almond memasukkan sosialisasi dan
rekrutmen politik ke dalam fungsi konversi. Artikulasi
kepentingan merupakan ekspresi kepentingan dan tuntutan politik untuk
melakukan tindakan.
Melalui skema di atas – masih menurut
Chilcote – Almond membagi sistem politik ke dalam tiga level. Level
pertama terdiri atas enam fungsi konversi yaitu: (1) artikulasi
kepentingan (penyampaian tuntutan dan dukungan); (2) agregasi
kepentingan (pengelompokan ataupun pengkombinasian aneka kepentingan
ke dalam wujud rancangan undang-undang); (3) komunikasi politik;
(4) pembuatan peraturan (pengkonversian rancangan undang-undang
menjadi undang-undang atau peraturan lain yang sifatnya mengikat); (5) pelaksanaan
peraturan (penerapan aturan umum undang-undang dan peraturan lain
ke tingkat warganegara), dan; (6) pengawasan peraturan
(pengawasan jalannya penerapan undang-undang di kalangan warganegara).
Fungsi nomor satu hingga tiga
berhubungan dengan tuntutan dan dukungan yang masuk
melalui mekanisme input sementara fungsi nomor emapt hingga enam
berada di sisi keluaran berupa keputusan serta tindakan. Mengenai
penjelasan atas tuntutan (demands) dan dukungan (support)
yang dimaksud Almond, Jagdish Chandra Johari memetakannya ke dalam tiga
aras penjelasan yaitu input, konversi, dan output.[16]
Tuntutan
dan Dukungan
Tuntutan adalah raw material atau bahan mentah yang kemudian diolah sistem
politik menjadi keputusan. Tuntutan diciptakan oleh individu maupun
kelompok yang memainkan peran tertentu di dalam sistem politik (baca:
struktur input). Tuntutan sifatnya beragam dan setiap tuntutan punya
dampak yang berbeda atas sistem politik. Tuntutan berasal dari
lingkungan intrasocietal maupun
extrasocietal, yang
variannya sebagai:[17]
- Tuntutan atas komoditas dan pelayanan, misalnya jaminan sosial, kelancaran bertransportasi, kesempatan menikmati pendidikan, peningkatan pelayanan kesehatan, pembangunan saluran irigasi, ataupun pelayanan birokrasi negara yang tidak berbelit. Konversi atas tuntutan ini berupa artikulasi kepentingan (atau tuntutan). Output berlingkup pada kemampuan ekstraktif semisal pengenaan pajak untuk membiayai jaminan sosial, peningkatan retribusi kendaraan untuk membangun jalan-jalan layang, penaikan pajak perusahaan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, pengundangan investor asing untuk membangun saluran irigasi, dan peningkatan hutang negara untuk menaikkan gaji Pegawai Negeri Sipil.
- Tuntutan untuk mengatur sejumlah perilaku warganegara seperti penertiban ormas-ormas parayudisial, pembersihan tindak korupsi pejabat negara, atau kompilasi hukum Islam ke dalam hukum publik. Konversi atas tuntutan ini berupa integrasi atau kombinasi kepentingan ke dalam rancangan undang-undang (agregasi). Output berupa kemampuan regulatif yang mengatur perilaku individu, kelompok, ataupun warganegara secara keseluruhan.
- Tuntutan untuk berpartisipasi dalam sistem politik seperti hak pilih, hak dipilih, mendirikan organisasi politik, melakukan lobby, atau menjalin kontak dengan pejabat-pejabat publik. Konversi atas tuntutan ini adalah mengubah rancangan undang-undang menjadi peraturan yang lebih otoritatif. Output konversi misalnya kemampuan regulatif misalnya penetapan kuota caleg 30% perempuan dalam undang-undang pemilihan umum.
- Tuntutan yang sifatnya simbolik meliputi penjelasan pejabat pemerintah atas suatu kebijakan, keberhasilan sistem politik mengatasi masalah, upaya menghargai simbol-simbol negara (lagu kebangsaan, lambang), ataupun upacara-upacara hari besar nasional. Konversi atas tuntutan jenis ini misalnya dibuatnya ketentuan umum yang mengatur implementasi setiap tuntutan yang sifatnya simbolik. Output yang sifatnya simbolik termasuk penegasan sistem politik atas simbol-simbol negara, penegasan nilai-nilai yang dianut (di Indonesia adalah Pancasila), serta penjelasan rutin dari pejabat negara atas isu-isu yang kontroversial dan menyita perhatian publik.
Jika tuntutan adalah bahan mentah untuk memproduksi keputusan-keputusan
politik, maka dukungan berkisar
pada upaya mempertahankan atau
menolak keberlakuan
sebuah sistem politik. Tanpa dukungan sistem politik kehilangan legitimasi dan
otoritasnya. Dukungan terdiri atas:[18]
- Dukungan material warganegara bisa berupa kemauan membayar pajak atau peran aktif mereka dalam program-program yang dicanangkan pemerintah (misalnya program kebersihan lingkungan, penanaman sejuta pohon). Konversi dukungan ini adalah ajudikasi peraturan di tingkat individu yaitu upaya penerapan sanksi bagi yang tidak menurut pada program pemerintah serta kemampuan simbolik pemerintah untuk melakukan himbauan agar publik tertarik memberi dukungan pada pemerintah.
- Dukungan untuk taat pada hukum serta peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Konversi dukungan ini berupa pentransmisian informasi yang berkaitan dengan ketaatan warganegara pada hukum di sekujur struktur sistem politik, antar sistem politik, serta lingkungan extrasocietal-nya.
- Dukungan untuk berpartisipasi dalam pemilu, ikut serta dalam organisasi politik, ataupun mengadakan diskusi tentang politik.
- Dukungan dalam bentuk tindakan untuk mempertahankan otoritas publik, upacara, serta simbol-simbol negara. Misalnya mengamalkan Pancasila, menyayangi sarana-sarana publik (alat transportasi umum, telepon umum, gedung-gedung pemerintah), menentang penggantian ideologi Pancasila dengan ideologi lain, mencuci bendera merah putih yang terkotori debu dan hujan asam, mensosialisasikan peran vital Pancasila dalam mengikat integrasi nasional Indonesia.
Kapabilitas
Sistem Politik
Level kedua dari aktivitas sistem politik terletak pada fungsi-fungsi
kemampuan. Kemampuan suatu sistem politik menurut Almond terdiri
atas kemampuan regulatif, ekstraktif, distributif, simbolis, dan
responsif.
Kemampuan ekstraktif adalah
kemampuan sistem politik dalam mendayagunakan sumber-sumber daya
material ataupun manusia baik yang berasal dari lingkungan domestik
(dalam negeri) maupun internasional.[19] Dalam hal kemampuan
ekstraktif ini Indonsia lebih besar ketimbang Timor Leste, karena faktor
sumber daya manusia maupun hasil-hasil alam yang dimilikinya. Namun,
kemampuan Indonesia dalam konteks ini lebih kecil ketimbang Cina.
Kemampuan regulatif adalah kemampuan sistem politik dalam
mengendalikan perilaku serta hubungan antar individu ataupun kelompok
yang ada di dalam sistem politik. Dalam konteks kemampuan ini sistem
politik dilihat dari sisi banyaknya regulasi (undang-undang dan
peraturan) yang dibuat serta intensitas penggunaannya karena
undang-undang dan peraturan dibuat untuk dilaksanakan bukan disimpan
di dalam laci pejabat dan warganegara. Selain itu, kemampuan regulatif
berkaitan dengan kemampuan ekstraktif di mana proses ekstraksi
membutuhkan regulasi.
Kemampuan distributif adalah kemampuan sistem politik dalam
mengalokasikan barang, jasa, penghargaan, status, serta nilai-nilai
(misalnya seperti nilai yang dimaksud Lasswell) ke seluruh
warganegaranya. Kemampuan distributif ini berkaitan dengan
kemampuan regulatif karena untuk melakukan proses distribusi
diperlukan rincian, perlindungan, dan jaminan yang harus disediakan
sistem politik lewat kemampuan regulatif-nya.
Kemampuan simbolik adalah kemampuan sistem politik untuk secara
efektif memanfaatkan simbol-simbol yang dimilikinya untuk dipenetrasi ke
dalam masyarakat maupun lingkungan internasional. Misalnya adalah
lagu-lagu nasional, upacara-upacara, penegasan nilai-nilai yang
dimiliki, ataupun pernyataan-pernyataan khas sistem politik. Simbol
adalah representasi kenyataan dalam bahasa ataupun wujud sederhana dan
dapat dipahami oleh setiap warga negara. Simbol dapat menjadi basis
kohesi sistem politik karena mencirikan identitas bersama. Salah satu
tokoh politik Indonesia yang paling mahir dalam mengelola kemampuan
simbolik ini adalah Sukarno dan pemerintah Indonesia di masa Orde Baru.
Kemampuan responsif adalah kemampuan sistem politik untuk
menyinkronisasi tuntutan yang masuk melalui input dengan keputusan dan
tindakan yang diambil otoritas politik di lini output. Sinkronisasi ini
terjadi tatkala pemerintahan SBY mampu melakukan sinkronisasi antara
tuntutan pihak Gerakan Aceh Merdeka dengan keputusan untuk melakukan
perundingan dengan mereka serta melaksanakan kesepakatan Helsinki hasil
mediasi. Sinkronisasi ini membuat tuntutan dari Aceh tidak lagi meninggi
kalau bukan sama sekali lenyap.
Almond menyebutkan bahwa pada
negara-negara demokratis, output dari kemampuan regulatif, ekstraktif,
dan distributif lebih dipengaruhi oleh tuntutan dari kelompok-kelompok
kepentingan sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat demokratis
memiliki kemampuan responsif yang lebih tinggi ketimbang masyarakat non
demokratis. Sementara pada sistem totaliter, output yang dihasilkan
kurang responsif pada tuntuan, perilaku regulatif bercorak paksaan,
serta lebih menonjolkan kegiatan ekstraktif dan simbolik maksimal atas
sumber daya masyarakatnya.
Pemeliharaan
Sistem Politik
Level ketiga ditempati oleh fungsi maintenance
(pemeliharaan) dan adaptasi. Kedua fungsi ini ditempati oleh sosialisasi
dan rekrutmen politik. Teori sistem politik Gabriel A. Almond ini
kiranya lebih memperjelas maksud dari David Easton dalam menjelaskan
kinerja suatu sistem politik. Melalui Gabriel A. Almond, pendekatan
struktural fungsional mulai mendapat tempat di dalam analisis kehidupan
politik suatu negara.[20]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar